Sudah menjadi realitas dalam Islam, Nabi Muhammad SAW diutus oleh
Allah SWT untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta bahkan benda mati
sekalipun tanpa membedakan ras, suku, agama dan budaya. Selama 14 abad lamanya,
Islam datang tak hanya untuk menyebarkan ajaran tauhid tetapi juga membawa
syariat untuk mengatur kehidupan individu pemeluknya, sosial dan hubungan
dengan Allah sebagai rabb-nya (ḥablum
min-Allah). Seseorang dianggap baik secara syara’
dalam Islam adalah jika orang tersebut menjalankan aturan-aturan yang
diperintahkan oleh agama baik berupa hukum wajib ataupun sunnah dan
meninggalkan larangannya yang berupa sesuatu yang haram. Inilah moralitas atau
pandangan baik dan buruk yang didasarkan pada agama. Konsep moralitas ini
memungkingkan dua sudut pandang. Orang yang dipandang baik adalah orang yang
akan mendapatkan pujian di dunia dan pahala kelak di akhirat, sebaliknya orang
yang dipandang buruk adalah orang yang akan mendapatkan cacian di dunia dan
siksaan besok di akhirat. Begitulah konsep moralitas yang didasarkan pada agama
(syara’) dalam aqidah kaum Asy’ariyyah meskipun menurut orang-orang Mu’tazilah
akal pikiran manusialah yang menentukan moralitas tersebut.
Moralitas berdasar syara’ ini berbeda dengan moralitas yang
didasarkan pada akal (aqliyyah) dan watak manusia (tab’iyyah).
Moralitas akal dan watak manusia tidak memiliki konsekuensi apapun besok di
akhirat. Contoh saja, menurut akal manusia, cerdas (‘ālim) adalah sifat
yang lebih baik dari pada bodoh (jāhil). Tapi bukan
bearti orang yang bodoh kelak di akhirat mereka mendapatkan siksaan karena
pengukuran moralitas dua hal tersebut didasarkan pada akal pikiran manusia.
Bukankah kita pernah mendengar sebuah guyonan ala santri yang mengatakan,
“dominasi orang-orang bodoh di surga lebih banyak dari pada orang alim”
yang didasarkan pada hadis Nabi SAW, “Mayoritas penduduk surga adalah
orang-orang bodoh (orang yang tidak alim dalam syariat)”. Jikalau dua
hal ini didasarkan pada agama maka seyogjanya orang alim semuanya akan
masuk surga dan sebaliknya orang bodohlah yang masuk neraka. Moralitas watak (tab’iyyah)
pun sama dengan moralitas akal. Jika seseorang minum dua minuman, yang satu
rasanya manis dan yang lain rasanya pahit. Maka ia akan mengatakan minuman
manis itu yang enak dan dipandang baik sedangkan minuman pahit adalah yang
tidak enak atau dipandang buruk. Dua hal ini tidak berimplikasi apapun dalam
urusan pahala atau siksaan karena keduanya disandarkan pada tabiat atau watak
manusia.
Pada era globalisasi ini dengan akses informasi yang begitu mudah
didapatkan, memicu perubahan moralitas di dunia yang begitu cepat dan masif tak
terkecuali di Indonesia. Munculnya trend dalam berbagai sektor dan
aturan-aturan yang diproduksi oleh lembaga atau kelompok yang memiliki kuasa
dianggap sebagai aturan yang benar adalah sedikit hal yang dapat merongrong
moralitas agama selain lokalitas budaya Nusantara dewasa ini. Minimnya
pengetahuan agama yang dimiliki oleh orang-orang masa kini membuat baik dan
buruk juga semakin sulit dibedakan, mana yang dibenarkan oleh agama dan mana
yang dibenarkan oleh akal. Maka tak berlebihan kiranya jika orang-orang
sekarang tanpa disadari termasuk golongan neo-mu’tazilah yang mengukur
banyak hal dari akalnya. Beberapa contoh saja yang sudah umum terjadi, dalam
dunia pendidikan banyak terjadi kasus kriminal atas nama kekerasan guru kepada
muridnya hanya karena masalah seperti mencubit dan lain sebagainya yang tidak
membahayakan anak didik. Benar memang Islam dalam hal tarbiyah
(pendidikan) tidak memperbolehkan menyakiti anak didiknya tetapi dengan catatan
hal tersebut tidak sampai melukai atau menyakiti anak didiknya. Tetapi kita
tidak boleh juga melupakan sebuah konsep dalam fiqh yang mana
diperbolehkan guru dalam mendidik murid-muridnya untuk memukul dengan batasan gairu
mubarrih (tidak menyakiti dan tidak melukai ) dan syarat-syarat lain
seperti memukul tersebut untuk mengajarkan adab sang murid, pemukulan tersebut
aman (tidak membahayakan), tidak boleh menggunakan tongkat dan tidak lebih dari
3 kali. Selain itu, dalam fiqh Syafi’i dijelaskan seorang bapak wajib
hukumnya memukul sang anak jika di usia 10 tahun tidak mau melaksanakan sholat
dengan catatan gairu mubarrih yang telah disebutkan. Moralitas ini
sekarang bergeser atas dasar perlindungan anak dan Hak Asasi Manusia hal-hal
yang tidak sampai menyakiti anak didik hanya karena menjewer atau mencubit
ringan dianggap sebagai masalah oleh orang tua murid di zaman sekarang. Hal ini
terjadi sebab moralitas yang seharusnya didasarkan pada agama digeser dengan
menggunakan akal. Ya memang, secara akal mencubit atau menjewer adalah sesuatu
yang dipandang buruk tapi bagaimana jika hal ini didasarkan pada agama?.
Dalam sektor lain seperti cara berpakaian juga terjadi pergeseran moralitas agama bahkan mereduksi budaya lokal yang ada. Indonseia dengan peradaban yang sudah lama dibentuk dengan aneka ragam budaya termasuk busana dan pakaian di dalamnya sudah menjadi identitas bangsa. Dalam Islam aurat laki-laki dan perempuan sudah dijelaskan secara mendalam dalam syariat. Tetapi munculnya berbagai macam trend berpakaian seperti trend Barat, K-Pop dari Korea membuat anak-anak muda bangsa menggangap trend tersebut yang benar. Ya tidak masalah jika berpakaian tersebut sudah sesuai dengan definisi menutup aurat tapi bagaimana jika tidak menutup aurat?. Meskipun menutup aurat, mau tidak mau juga akan mengikis busana lokal di Nusantara yang dianggap sudah kampungan dan ketinggalan trend masa kini. Perubahan moralitas baru dalam Islam di Indonesia ini harusnya sudah harus kita sadari bersama dan tidak dalam ranah preventif lagi karena ini sudah menjalar di masyarakat tetapi juga bagaimana cara untuk menanggulanginya. Ini sudah menjadi kewajiban tak hanya kita sebagai kaum nahdliyyin tapi semua golongan dan sektor mulai dari santri, ulama’, orang tua, pemerintah dan golongan lain. Jika tidak kita akan benar-benar kehilangan moralitas Islam di Indonesia yang kita sebut Islam Nusantara.
Penulis: Muchammad Akrom, Dosen Ma’had Aly Yanbu’ul Qur’an Kudus Jawa Tengah
0 Komentar