Islam dan Moralitas Baru di Indonesia

Sudah menjadi realitas dalam Islam, Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta bahkan benda mati sekalipun tanpa membedakan ras, suku, agama dan budaya. Selama 14 abad lamanya, Islam datang tak hanya untuk menyebarkan ajaran tauhid tetapi juga membawa syariat untuk mengatur kehidupan individu pemeluknya, sosial dan hubungan dengan Allah sebagai rabb-nya (ablum min-Allah). Seseorang dianggap baik secara syara’ dalam Islam adalah jika orang tersebut menjalankan aturan-aturan yang diperintahkan oleh agama baik berupa hukum wajib ataupun sunnah dan meninggalkan larangannya yang berupa sesuatu yang haram. Inilah moralitas atau pandangan baik dan buruk yang didasarkan pada agama. Konsep moralitas ini memungkingkan dua sudut pandang. Orang yang dipandang baik adalah orang yang akan mendapatkan pujian di dunia dan pahala kelak di akhirat, sebaliknya orang yang dipandang buruk adalah orang yang akan mendapatkan cacian di dunia dan siksaan besok di akhirat. Begitulah konsep moralitas yang didasarkan pada agama (syara’) dalam aqidah kaum Asy’ariyyah meskipun menurut orang-orang Mu’tazilah akal pikiran manusialah yang menentukan moralitas tersebut.

Moralitas berdasar syara’ ini berbeda dengan moralitas yang didasarkan pada akal (aqliyyah) dan watak manusia (tab’iyyah). Moralitas akal dan watak manusia tidak memiliki konsekuensi apapun besok di akhirat. Contoh saja, menurut akal manusia, cerdas (‘ālim) adalah sifat yang lebih baik dari pada bodoh (jāhil). Tapi bukan bearti orang yang bodoh kelak di akhirat mereka mendapatkan siksaan karena pengukuran moralitas dua hal tersebut didasarkan pada akal pikiran manusia. Bukankah kita pernah mendengar sebuah guyonan ala santri yang mengatakan, “dominasi orang-orang bodoh di surga lebih banyak dari pada orang alim” yang didasarkan pada hadis Nabi SAW, “Mayoritas penduduk surga adalah orang-orang bodoh (orang yang tidak alim dalam syariat)”. Jikalau dua hal ini didasarkan pada agama maka seyogjanya orang alim semuanya akan masuk surga dan sebaliknya orang bodohlah yang masuk neraka. Moralitas watak (tab’iyyah) pun sama dengan moralitas akal. Jika seseorang minum dua minuman, yang satu rasanya manis dan yang lain rasanya pahit. Maka ia akan mengatakan minuman manis itu yang enak dan dipandang baik sedangkan minuman pahit adalah yang tidak enak atau dipandang buruk. Dua hal ini tidak berimplikasi apapun dalam urusan pahala atau siksaan karena keduanya disandarkan pada tabiat atau watak manusia.

Pada era globalisasi ini dengan akses informasi yang begitu mudah didapatkan, memicu perubahan moralitas di dunia yang begitu cepat dan masif tak terkecuali di Indonesia. Munculnya trend dalam berbagai sektor dan aturan-aturan yang diproduksi oleh lembaga atau kelompok yang memiliki kuasa dianggap sebagai aturan yang benar adalah sedikit hal yang dapat merongrong moralitas agama selain lokalitas budaya Nusantara dewasa ini. Minimnya pengetahuan agama yang dimiliki oleh orang-orang masa kini membuat baik dan buruk juga semakin sulit dibedakan, mana yang dibenarkan oleh agama dan mana yang dibenarkan oleh akal. Maka tak berlebihan kiranya jika orang-orang sekarang tanpa disadari termasuk golongan neo-mu’tazilah yang mengukur banyak hal dari akalnya. Beberapa contoh saja yang sudah umum terjadi, dalam dunia pendidikan banyak terjadi kasus kriminal atas nama kekerasan guru kepada muridnya hanya karena masalah seperti mencubit dan lain sebagainya yang tidak membahayakan anak didik. Benar memang Islam dalam hal tarbiyah (pendidikan) tidak memperbolehkan menyakiti anak didiknya tetapi dengan catatan hal tersebut tidak sampai melukai atau menyakiti anak didiknya. Tetapi kita tidak boleh juga melupakan sebuah konsep dalam fiqh yang mana diperbolehkan guru dalam mendidik murid-muridnya untuk memukul dengan batasan gairu mubarrih (tidak menyakiti dan tidak melukai ) dan syarat-syarat lain seperti memukul tersebut untuk mengajarkan adab sang murid, pemukulan tersebut aman (tidak membahayakan), tidak boleh menggunakan tongkat dan tidak lebih dari 3 kali. Selain itu, dalam fiqh Syafi’i dijelaskan seorang bapak wajib hukumnya memukul sang anak jika di usia 10 tahun tidak mau melaksanakan sholat dengan catatan gairu mubarrih yang telah disebutkan. Moralitas ini sekarang bergeser atas dasar perlindungan anak dan Hak Asasi Manusia hal-hal yang tidak sampai menyakiti anak didik hanya karena menjewer atau mencubit ringan dianggap sebagai masalah oleh orang tua murid di zaman sekarang. Hal ini terjadi sebab moralitas yang seharusnya didasarkan pada agama digeser dengan menggunakan akal. Ya memang, secara akal mencubit atau menjewer adalah sesuatu yang dipandang buruk tapi bagaimana jika hal ini didasarkan pada agama?.

Dalam sektor lain seperti cara berpakaian juga terjadi pergeseran moralitas agama bahkan mereduksi budaya lokal yang ada. Indonseia dengan peradaban yang sudah lama dibentuk dengan aneka ragam budaya termasuk busana dan pakaian di dalamnya sudah menjadi identitas bangsa. Dalam Islam aurat laki-laki dan perempuan sudah dijelaskan secara mendalam dalam syariat. Tetapi munculnya berbagai macam trend berpakaian seperti trend Barat, K-Pop dari Korea membuat anak-anak muda bangsa menggangap trend tersebut yang benar. Ya tidak masalah jika berpakaian tersebut sudah sesuai dengan definisi menutup aurat tapi bagaimana jika tidak menutup aurat?. Meskipun menutup aurat, mau tidak mau  juga akan mengikis busana lokal di Nusantara yang dianggap sudah kampungan dan ketinggalan trend masa kini. Perubahan moralitas baru dalam Islam di Indonesia ini harusnya sudah harus kita sadari bersama dan tidak dalam ranah preventif lagi karena ini sudah menjalar di masyarakat tetapi juga bagaimana cara untuk menanggulanginya. Ini sudah menjadi kewajiban tak hanya kita sebagai kaum nahdliyyin tapi semua golongan dan sektor mulai dari santri, ulama’, orang tua, pemerintah dan golongan lain. Jika tidak kita akan benar-benar kehilangan moralitas Islam di Indonesia yang kita sebut Islam Nusantara.

Penulis: Muchammad Akrom, Dosen Ma’had Aly Yanbu’ul Qur’an Kudus Jawa Tengah


0 Komentar